Menghayati Hikmah dan Mau’zhah dari Iduladha

  • Whatsapp

Oleh: Prof. Dr. H. Ibrahim Siregar 

Biasanya pada bulan Zulhijjah seperti saat ini jutaan umat Islam yang memiliki kemampuan ekonomi, kesehatan fisik, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci, seharusnya mereka saat ini dalam keadaan berihram dan sedang menunaikan rangkaian ibadah haji di Mina, melaksanakan wajib haji di jamarat. Namun keberangkatan mereka tertunda karena kondisi dan situasi yang diinformasikan kepada kita bahwa wabah covid-19 yang begitu ganas sedang merebak di berbagai penjuru dunia termasuk di Arab Saudi yang dapat mengancam keselamatan jiwa para jamaah yang menunaikan ibadah haji tersebut.

Baca Juga:

Semoga kondisi mencekam ini segera reda dan berakhir sehingga kita dapat melakukan semua aktivitas kita seperti biasa dengan aman dan nyaman dalam ridhaNya Allah SWT.

‘Id adha merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak terlepas dari suatu peristiwa nubuwwat atau kenabian dari dua sosok manusia yang dimuliakan Allah, yaitu dua orang Rasul Allah, Nabi Ibrahim AS dan anaknya Nabi Ismail AS.
Sebagai kandidat pemimpin umat manusia di muka bumi ini, dan sekaligus sebagai ayah dan kakek dari para nabi, serta bapak dari agama-agama monoteisme yang mentauhidkan Allah, yang mengesakan Tuhan yang patut disembah Nabi Ibrahim AS dipersiapkan Allah dan dimatangkan dari berbagai sisi, terutama aspek mental spritual dengan ujian fit and proper test yang sangat amat luar biasa beratnya, yaitu untuk mengorbankan putranya Ismail AS yang sangat sangat disayanginya, apalagi kehadiran putra tunggalnya tersebut sudah lama diharapkan dan dinantikannya, yang senantiasa dalam doanya kepada Allah SWT.

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah ayahanda akan melihatku merupakan orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan orang-orang yang berbuat baik (QS. Ash-Shaaffaat: 100-105)

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 106-111)

Dalam momen ibadah id Adha yang dipenuhi rasa iman dan keikhlasan ini, marilah kita sejenak merenungkan dan memetik pelajaran yang berharga dari dua sosok nabi dan Rasulullah tersebut. Semoga nilai nilai dan hikmahnya dapat menjadi petunjuk bagi kita baik sebagai individu, masyarakat ataupun pimpinan sosial dan keagamaan.

Paling tidak ada beberapa poin dari banyaknya nilai-nilai yang sangat berharga tinggi yang dapat dipetik dan diinternalisasi atau dihayati dari perjalanan kehidupan dan nubuwwah bapak, kakek dan moyangnya para nabi tersebut, yaitu sebagai berikut:

Pertama, nabi Ibrahim As begitu sangat demokratis ketika berdialog dengan anaknya Ismail As. Dalam menyampaikan pesan yang secara mutlak ia bertekad bulat akan melaksanakan perintah Allah untuk mengorbankan jiwa anaknya, putra dan belahan hatinya, yang amat sangat disayanginya. Wahai anakku ayah diperintah Allah melalui wahyuNya untuk menyembeliihmu wahai anakku; pikirkanlah dan pertimbangkanlah dulu hal ini, apakah pendapatmu wahai anakku?
Ternyata Ismail yang memiliki jiwa yang menjadi sasaran perintah tersebut justeru memberi jawaban; Wahai ayahandaku lakukanlah perintah Allah itu ya ayahandaku, insya Allah aku selalu sabar untuk turut melaksanakannya ayahku. Dua hamba dan Rasulullah ini sesungguhnya merasa betapa perih dan pilunya hati mereka berdua. Namun dibarengi dengan kuatnya keyakinan mereka kepada Allah dan keimanan bahwa perintah itu benar merupakan perintah Allah, maka hal yang sungguh berat tersebut mereka dialog dan diskusikan antara ayah dan anak secara musyawarah, sehingga menghilangkan keraguan dengan haqqul yakin dilaksanakan demi kecintaan keduanya terhadap Tuhan mereka, Allah SWT yang senantiasa membimbing dengan petunjuk hidayahNya. Dalam peristiwa ini Ibrahim sebagai sosok Ayah yang begitu demokratis, dan disambut Ismail sebagai anak yang berkarakter; akhlaknya yang begitu Agung kepada ayahnya sehingga Allah membalas keridhaan dan keikhlasan mereka berdua dalam menerima dan menjalankan perintah Allah tersebut

Kedua, pengorbanan adalah sesuatu syarat dan unsur penting dalam menggapai keberhasilan cita dan rencana. Hal itu merupakan sunnatullah atau hukum kausalitas antara titik cita dan rencana agar sampainya ke titik sasaran.

Ketiga, Ibrahim As sebelum menjadi pemimpin umat manusia terlebih dahulu melalui ujian yang serius dan objektif tanpa intervensi makluk apapun untuk mencapai kelulusan dalam test calon pemimpin dunia terebut. Ketika kami menguji Ibrahim ia dapat memenuhinya. Sesungguhnya kami angkat dia menjadi pemimpin umat manusia (QS: al-Baqarah:124)

Keempat, Ibrahim senantiasa mendoakan kepada Allah agar keturunannya menjadi generasi berkualitas dan pemimpin yang memberi manfaat kepada manusia, pemimpin yang membawa umat kepada jalan yang benar dalam ridho dan petunjuk Allah. Ketika Allah mengatakan Ibrahim lulus ujian dan diangkat menjadi pemimpin umat manusia, lalu ia menyempatkan menyampaikan usulnya kepada Allah agar anak keturunannya juga kelak dijadikanlah Allah pemimpin dan pembimbing umat manusia. Memang kenyataannya di kemudian hari para nabi dan Rasulullah banyak terlahir dari keturunannya melalui jalur anaknya Ishak, yang menurunkan para nabi dan Rasulullah untuk kaumnya saja. Demikian juga melalui jalur Ismail As adalah Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasulullah akhir zaman, nabi dan Rasulullah untuk seluruh umat manusia dengan agama Islam Rahmatan lil Alamin.

Kelima, sebagai pemimpin besar beliau memikirkan tidak hanya kemajuan ekonomi dan kemakmuran negaranya tetapi juga agar umat dan generasinya selalu dalam ketauhidan, mengesakan dan menyembah Allah SWT. Tuhanku jadikanlah Mekah ini negeri yang aman sejahtera dan anugerahkan rezeki buah-buahan kepada mereka yang beriman kepadamu dan hari qiamat (QS: al-Baqarah, 126)

Keenam, nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar kelak generasinya diberi pemimpin sebagai Rasul dari kalangan generasi tersebut untuk mencerdaskan intelektual dan mencerdaskan spiritual dan membangun karakter mereka. Ya Tuhan kami utuslah dari kalangan mereka seorang Rasul yang mengajari mereka tentang Alquran, dan Ilmu pengetahuan serta penguatan akhlak-akhlak mereka dengan selalu menjaga kesucian jiwa dan diri mereka (QS: al-Baqarah, 129)

Kendati untaian doa tersebut beribu tahun yang silam namun nilai pesan tesebut tetap aktual sampai hari ini. Visi misi pendidikan kita sejak tiga dekade belakangan sering terdengar memuat terma iptek dan imtaq untuk memproduksi alumni yang berilmu pengetahuan, berkarakter dan bermoral integritas. Karena sesungguhnya semua menyadari bahwa kekuatan integrasi atau menyatunya antara kognitif etika (pengetahuan) dengan behavior (sikap perilaku) merupakan ciri manusia berakhlak mulia yang termuat dalam pesan doa kedua Rasulullah alaihima salam tersebut. Karena itulah tiang penyangga utama kebertahanan suatu bangsa negara, ketika aspeknya itu hancur maka alamat ambruknya segala segmen dalam berbangsa dan bernegara menjadi konsekwensi logis yang membawa kejatuhan secara global yang akhirnya tidak dapat dihindarkan, demikian sabda Rasulullah SAW.

Semoga kita semua senantiasa diberi Allah hidayahNya dan taufiq dalam menjalani sisa sisa umur dan kehidupan kita ini sebagai apapun kita adanya . Amin ya Rabbal alamiin.

Penulis: Rektor IAIN Padangsidimpuan, Sumut

Pos terkait