Iman, Paradigma, dan Perilaku

  • Whatsapp
Prof. Dr. Ibrahim Siregar

Oleh: Prof. Dr. Ibrahim Siregar

Pada suatu kegiatan pelatihan penulisan karya ilmiah, seorang guru besar bidang pemikiran Islam menyelipkan sebuah statemen, sesungguhnya apabila didalam pikiran seseorang berupa kotoran sapi maka yang terlahir dan tampil di permukaan tidak lain adalah kotoran sapi juga. Beliau mengeluarkan ungkapan demikian terkait dengan pentingnya peran dan kejelasan suatu paradigma atau pola dan kerangka pikir dalam melahirkan suatu produk ilmu pengetahuan yang valid. Selanjutnya beliau menjelaskan begitulah pentingnya suatu paradigma dalam sistem ilmu pengetahuan sebagaimana pentingnya iman dalam suatu entitas agama.

Baca Juga:

Iman dan paradigma dua terma yang mendasar pada dua ranah yang berbeda. Sebagai induk yang menelurkan dan landasan bertenggernya fenomena, dua hal tersebut termanifestasi dengan suatu produk perilaku atau hal yang nyata teramati. Jika iman merupakan elemen intrinsik pada entitas suatu agama, maka paradigma berada pada sistem ilmu pengetahuan.

Apabila iman yang terkait dengan meyakini hal ilhiyyah (divine) merupakan sesuatu yang bersifat transdental dan sakral (suci), maka paradigma yang merupakan hasil nalar atau olah pikir manusia memiliki sifat profan (duniawi). Ketika iman yang sakral menjadi dasar dan haluan dalam berpikir dan berperilaku tentu saja perilaku tersebut mewujud pada tataran profan, yaitu perilaku dalam bingkai cahaya iman yang sakral sebagai suatu akhlak dan adab mulia (al-akhlaq al-karimah) dari penganutnya. Selanjutnya paradigma sebagai kerangka dasar dalam berpikir ilmiah yang bersifat profan akan menghasilkan pengetahuan yang paridigmatik dari seorang ilmuan tersebut.

Kendati ilmu memiliki sifat relatif dan merupakan sesuatu yang profan namun dalam hukum ilmu pengetahuan (nomotetik; interkoneksi variabel) tentu berpikir sesuai dengan paradigma sebagai intellectual commitment merupakan hal yang “wajib” untuk menghasilkan produk ilmu pengetahuan selaras dengan paradigma yang disebut paridigmatik.

Penting dikemukakan bahwa apabila suatu iman bergeser kepada keyakinan yang lain, maka yang terjadi adalah penggantian iman yang disebut dalam Islam murtad, kafir atau musyrik. Namun jika hanya pada tataran perilaku saja yang tidak selaras dengan iman, maka yang tampil ke permukaan adalah tindakan tidak taat asas, kharij ‘ani at-tho’at** atau fasiq, yang merupakan akhlak tercela (_mazmumah_). Dalam kondisi demikian sesunguhnya yang terjadi adalah kondisi iman sedang mengalami krisis.

Selanjutnya terkait dengan paradigma, ketika suatu konsep dan pandangan dasar berpindah dari satu kepada yang lain, yang terjadi adalah berubahnya paradigma yang dikenal dengan terma shift of paradigm (pergeseran paradigma). Tapi apabila suatu paradigma tidak tergambarkan dalam suatu tampilan di permukaan, maka yang terjadi adalah ketidak selarasan antara perilaku dengan paradigma, dan hal ini disebut dengan shock of paradigm (kegoncangan paradigma)

Iman

Sebagai elemen paling mendasar dan bagian inti dari entitas suatu agama, posisi iman dalam ajaran Islam diasosiakan pada diri manusia di bagian yang sangat dalam pula, yaitu qalb (dalam bahasa Arab kata qalb dalam makna fisik sebenarnya adalah jantung atau heart dalam bahasa Inggeris, bukan hati dalam arti liver) Sejalan dengan pemaknaan qalb sebagai jantung dapat dipahami dari Hadits yang menyatakan bahwa kebaikan itu adalah akhlak terpuji (husnul khuluq) dan dosa itu adalah sesuatu yang berdebar di dalam dada orang yang melakukan suatu perbuatan salah, dan ia amat sangat tidak ingin diketahui orang lain (HR. Muslim).

Kalau dilihat dari sisi posisinya dapat dipahami bahwa organ yang berada di dada adalah jantung bukan hati (liver). Karena liver posisinya bukan di dada melainkan di bagian kanan dari perut. Dengan demikian makna qalb merupakan jantung adalah paling terdukung dengan fakta yang kuat. Adapaun qalb -organ server penerima pesan iman- dalam makna abstrak adalah akal, mind, atau secret thought (lihat, Hasan Mushthofawi, at-Tahqiq fi Kalimat al-Quran al-Karimi, 2013: 335-336).

Selanjutnya iman yang sejatinya memenuhi unsur tashdiq (keyakinan) di dalam qalb, juga harus diartikulasikan (iqrar) dengan lidah, dan diimplementasikan dalam perilaku (amal bi al-jawari).
Rasulullah SAW bersabda apabila qalb baik maka jasmani juga menjadi baik, dan sebaliknya jika qalb rusak maka jasmani juga akan ikut menjadi rusak. Kemudian, Sabda Rasul SAW bahwa ketika seseorang barbuat dosa atau maksiat kondisi imannya sedang mengalami goncangan dan bahkan menurun.

Buruknya suatu karakter seseorang merupakan indikator krisisnya iman (dho’fu al-khuluqi dalilun ‘alaa dho’fi al-Iman). Selanjutnya Hadits yang sejalan dengan hal ini menjelaskan bahwa seseorang tidak akan mencuri, berzina, dan meminum khamar dalam keadaan beriman. Iman yang mengalami pasang surut kualitasnya akan menyembulkan tampilan perilaku sesuai dengan kondisi kualitasnya iman tersebut.

Ketika iman dalam kondisi menguat refleksinya akan muncul dengan perilaku terpuji, sebaliknya jika kualitas iman sedang surut maka perilaku cela dan nista pulalah merupakan manifestasinya. Dalam Islam iman adalah meyakini ketauhidan Allah Tuhan alam semesta, Malaikat, kitab suci, Rasulullah,hari berbangkit, dan qodar baik dan buruk. Ketika kondisi iman atau keyakinan sangat kuat terhadap kumulatif yang diimani ini pancaran iman yang transendental tersebut mewujud dalam refleksinya berupa karakter dan perilaku penganutnya, yaitu ketaatan terhadap nilai dan normatif agama yang dianut.

Dengan demikian dapat ditangkap pesan Allah pada sejumlah 71 tempat dalam Alquran yang menggandengkan kata iman dan perilaku amal sholeh; dengan mendahulukan kata iman baru kemudian kata amal sholeh. Ini menunjukkan iman melahirkan produk karakter dan tindakan yang baik pula.

Paradigma

Thomas Kuhn sebagai penggagas awal menggunakan paradigma pada konsep dasar dan praktik eksperimental dari disiplin ilmu. Paradigma merupakan landasan berpikir ataupun konsep yang digunakan atau dianut sebagai model ataupun pola dalam melakukan upaya memperoleh pengetahuan. Robert Fereidrichs selanjut menjelaskan paradigma sebagai kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga terbentuk citra subjektif seseorang terhadap realita sehingga berujung pada ketentuan bagaimana cara untuk menangani realita tersebut.

Pada awalnya paradigma digunakan dalam ilmu-Ilmu alam, namun terma ini kemudian telah digunakan juga dalam berbagai konteks non saintlfik untuk menggambarkan model fundamental atau persepsi suatu fenomena. Paradigma digunakan sebagai konsep dasar pada Ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, komunikasi, pendidikan, ekonomi, ilmu hukum, politik dan lainnya.
Selanjutnya paradigma dikenal dengan kategori paradigma positivistik, postpositivistik dan konstruktivistik.

Paradigma yang disebut terakhir ini berupa pengembangan yang digagas oleh Jesse Delia pada ilmu komunikasi. Paradigma konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya.

Selanjutnya paradigma akan mengalami kontestasi dalam keberlakuannya sebagai pandangan yang dianut. Kuhn menjelaskan bahwa pada setiap zaman akan banyak paradigma yang hidup, dan hanya ada satu di antaranya yang dominan dan yang menjadi pandangan mainstream. Dalam konteks berbangsa bernegara ideogi digunakan menjadi pandangan dan falsafah dasar bagi suatu negara. Tentu cara pandang dan falsafah dasar tersebut berupa ideologi sebagai paradigma pengarah dalam kehidupan berbangsa.

Dalam konteks Indonesia Pancasila dijadikan sebagai cara pandang dan ideologi negara, digali dan diderivasi dari nilai-nilai luhur yang hidup, dianut masyarakat di seluruh nusantara.

Pada pase proses konsensus yang mana Pancasila menjadi pilihan sebgai falsafah dan ideologi negara telah dicatat sejarah begitu berlikunya jalan menuju kesepakatan, karena ketatnya kontestasi antara sentra-sentra penganut pandangan hidup dalam masyarakat Indonesia. Kelompok Islam berupaya mengusung Islam sebagai ideologi negara seperti Masyumi. Sementara kelompok PKI tidak berhenti untuk mewujudkan komunisme sebagai ideologi negara, kendati mengalami tragedi berdarah dan kegagalannya dalam upaya tersebut, dan sikap pantang menyerah, mereka konsisten berupaya demi ideologi komunisme dan kemudian mengulangi kudeta berdarah pada tahu 1965.

Selanjutnya kelompok yang melihat Pancasila sebagai pandangan hidup atau ideologi negara lebih kondusif dalam merekat kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan pluralisme dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia seperti PNI dan NU. Akhirnya Pancasila yang mendapat posisi lebih terterima menjadi dominan dalam variasi paradigma yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Kendati demikian Pancasila telah dipandang paling diterima, namun dalam meletakkan poin-poin lima sila tersebut para founding fathers juga mengalami silang pendapat terkait poin apa saja dan poin mana yang ditetapkan pada urutan pertama, kedua, dan seterusnya (baca, Nursyam, Jangan Kehilangan Tongkat Dua Kali Dengan RUU HIP, 30-6-2020.

Kelompok Islam yang mengusulkan agar pada sila pertama dengan kata-kata Ketuhanan Yang Esa dan kewajiban menjalakan syariat Islam bagi pemeluknya. Sementara Soekarno mengusulkan trisila yang merupakan sari dari lima sila dan kemudian diperas menjadi eka sila, yaitu Gotong Royong. Dengan alotnya perdebatan terkait konsep yang akan dijadikan falsafah dan ideologi negara sekaligus sebagai paradigma kehidupan berbangsa dalam menjalankan tata kelola negara tersebut akhirnya kelompok Islam bersedia, rela dan legowo tidak dimasukannya kata-kata kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, demi tercapainya keutuhan bangsa dan negara yang memiliki penduduk pluralis dari dari segi ras dan agama. Demikian juga Soekarno pada akhirnya rela akan lima sila sebagaimana yang sudah tercapai pada konsensus pada tanggal 18 Agustus 1945, secara utuh tanpa diperas menjadi trisila dan ekasila.

Begitu arif dan dewasanya para founding fathers kita mampu menyisihkan tanpa menyisakan rasa dan sikap egoisme dalam merajut nilai rasa dan pikiran dari suku bangsa kita yang variatif demi tewujudnya kesatuan dalam membangun negara kesatuan NKRI. Perdebatan dan kontestasi di antara konsep-konsep dasar dan falsafah negara dalam proses hingga tercapainya konsensus, Pancasila (sebagai konsep moderat antara dua konsep ideologi kanan Islam dan kiri komunisme) menjadi ideologi dan sekaligus menjadi paradigma terkonstruksi dari nilai-nilai luhur masyarakat dan bangsa Indonesia, dan final sebagai paradigma dominan dan mendominasi (sebagaimana pandangan Thomas S Kuhn), maka semua konsep-konsep yang bergulir dan diusulkan tersebut telah tereliminasi dalam proses mencapai konsensus tersebut wajib dilupakan bahkan dikubur sedalam mungkin.

Ketika Pancasila yang diperoleh secara konsensus tersebut menjadi ideologi berbangsa dan bernegara posisinya sebagai grundnorm (falsafah dasar negara) dan landasan idil yang wajib dirujuk dalam setiap denyut napas dan tindakan dalam menjalankan tatakelola kenegaraan, disamping kebersamaan UUD 1945, sebagai State fundamental norm, yang merupakan landasan konstitusionil dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Sebagai konsep ideologi yang diderivasi dan terkonstruksi dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia Pancasila menjadi paradigma dominan yang wajib termanifestasi dalam perilaku penyelenggara negara dan rakyat Indonesia.

Pada masa regim orde baru yang begitu komitmen menjaga kemurnian ideologi Pancasila secara murni dan konsekuen, konsisten mengingatkan akan bahaya laten komunisme, dan sangat waspada dari rongrongan ideologi kiri dan kanan, sampai terkesan begitu otoriter. Kendati demikian besar tsb perhatian pemerintahan masa orde baru namun kritik tajam tetap ramai di tujukan kepada pihak penyelenggara negara yang dipandang ada kesenjangan yang dalam antara nilai-nilai Pancasila yang diajarkan dan ditatarkan dengan perilaku yang dipertontonkan dalam penyelenggaraan negara.

Ketika ini menjadi isu sorotan dan kritikan kepada perilaku penyelenggara negara, jargon yang selalu digunakan sebagai kata perisai yang sakti adalah, itu hanya oknum bukan pemerintah. Kembali kepada kesalarasan antara paradigma dan perilakunya, dapat dipahami bahwa ada ketidak selarasan antara Das sollen dan Das sein pada tataran ini. Tentu masih amat sangat dibutuhkan komitmen untuk satu langkah dalam upaya yang tidak ringan dalam metode edukasi dan tekad bulat dalam implementasinya, mulai pimpinan tertinggi dan lembaga negara harus menyelaraskan antara paradigma dan perilaku.

Shock of Paradigm

Kendati kesenjangan antara falsafah dasar negara dan tindakan nyata tersebut hanya merupakan kegoncangan paradigma (shock of paradigm), namun terjadi sikap tidak konsekuen dalam implementasi paradigma Pancasila tersebut yang pada muaranya sangat menghambat lajunya gerak pembangunan untuk mewujudkan negara adil dan makmur serta bangsa yang sejahtera.

Namun demikian kondisi objektif yang buruk tersebut jangan sampai diperburuk lagi dengan melakukan penggantian paradigma (shift of paradigm), berupa perubahan yang kembali kepada salah satu konsep-konsep ideologi yang diusulkan pada masa-masa awal dengan perdebatan yang berlarut- larut dan alot sebelum tercapainya konsensus tersebut, dan kalau itu masih terjadi, suatu langkah setback ke titik nol dikhawatirkan menimbulkan terkorbankannya semua berbagai prestasi yang telah tercapai selama ini, yang sesungguhnya hanya satu langkah lagi yang tertinggal yaitu penguatan komitmen dan tekad kuat dalam tindakan nyata dipihak masyarakat apalagi penguasa, atau regim sekarang dan ke depan yang diberi amanah oleh rakyat untuk memimpin dan mencapai tujuan negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Wallahu ‘alam

Penulis: Rektor IAIN Padangsidimpuan, Sumut

Pos terkait